Abdurahman bin Auf salah satu orang yang paling dekat dengan sahabat Umar merasa tersinggung dan murung mendengar tuduhan yang di alamatkan kepada khalifah kedua tersebut. Apalagi hampir semua rakyat Madinah menganggap bahwa khalifah memang sudah benat-benar gila dan tak layak memimpin lagi.
Pada suatu kesempatan shalat jum’at , ketika khalifah sedang diatas mimbar tiba tiba berseru “Hai Sariah, hai tentaraku, Bukit itu, bukit Itu, bukit Itu..!!. Para jamaah yang sedang duduk mengikuti khutbah Jum’at geger, sebab ucapan tersebut tidak ada kaitannya dengan materi khotbah yang disampaikan. Salah satu penduduk Madinah yang menjadi ma’mum bergumam “Wah Khalifah benar-benar sudah gila”
Abdurahman sebagai sahabat dekatnya tidak mau gegabah, ia ingin berbicara empat mata dengan khalifah menanyakan langsung berkaitan dengan kabar yang sudah kian santer berkembang di masyarakat Madinah kala itu. Maka didatangi umar dan ditanyainya “Wahai Amirul mukminin, Mengapa engkau berseru-seru disela khotbah dan pandangan mata anda menatap kejauhan? ” Khalifah umar dengan tenang menjawab ” Begini sahabatku . Beberapa pekan saya mengirimkan Sariah, pasukan yang tidak kumpimpin secara langsung, untuk membasmi kaum pengacau. Tatkala aku sedang berkhotbah kulihat pasukan itu dikepung musuh dari segala penjuru. Kulihat pula satu satunya benteng untuk mempertahankan diri adalah sebuah bukit dibelakang mereka. Maka aku berseru Bukit Itu, bukit itu, bukit itu”.
Abdurahman sang sahabat lantas mengundurkan diri dari hadapan Khalifah Umar, Ia belum bisa menilai, sejauh mana kebenaran ucapan Khalifah Umar tadi. Ataukah hal itu justru lebih membuktikan ketidakwarasannya sehingga jawabannya pun kacau balau? Masak Ia dapat melihat pasukan yang jaraknya amat sangat jauh dari tempatnya berkutbah.
Akhirnya bukti kebenaran itu datang tanpa dimintanya. Yaitu ketika Saria yang dikirimkan umar tersebut telah kembali ke Madinah. Wajah mereka berbinar binar meskipun terlihat tanda-tanda kelelahan dan bekas luka yang mereka derita.
Komandan pasukan pada hari berikutnya bercerita kepada masyarakat Madinah tentang dahsyatnya peperangan yang dialami mereka. ” Kami dikepung tentara musuh, tanpa harapan bisa meloloskan diri dengan selamat, Lawan dengan beringas menghantam kami dari berbagai penjuru, kami sudah luluh lantak. Kekuatan kami nyaris terkuras habis. Sampai tibalah waktu shalat jum’at yang seharusnya kami kerjakan. Persis kala itu kami mendengar seruan ghaib yang tajam dan tegas.”Bukit itu,, bukit Itu,, bukit Itu!” tiga kali seruan itu diulang ulang sehingga kami tahu maksudnya. Serta merta kamipun mundur kelereng bukit. Dan kami jadikan bukit itu sebagai pelindung di bagian belakang
Abdurahman mengangguk-anggukan kepala dengan takjub. Begitu pula masyarakat yang tadinya menuduh Umar telah berubah ingatan. Abdurahman lantas berkata, “Biarkan Umar dengan kelakuaannya yang terkadang menyalahi adat . Sebab dia dapat melihat sesuatu yang indera kita tidak mampu melacaknya”
Sumber: Kisah Teladan