Suatu hari, seorang ateis menanyai Imam Hanafi, “Apakah kamu melihat Tuhanmu?”
“Maha Suci Allah, ‘Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Teliti,’ (QS: Al-An’am: 103),”jawab Imam Hanafi.
“Apakah kamu menyentuhnya? Menciumnya? Atau merasakannya?”
“Maha Suci Allah, ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.'(QS: As-Syura:11),” jawab Imam Hanafi.
“Jika kamu tidak melihat-Nya, menyentuh-Nya, mencium-Nya, dan merasakan-Nya, bagaimana caramu membuktikan keberadaan-Nya?” tanya orang atheis tadi.
“Kamu ini benar-benar tak bisa berpikir! Apakah kamu melihat akalmu?”
“Tidak,” jawab orang ateis.
“Apakah kamu menyentuh akalmu?”
“Tidak,” jawab orang ateis itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apakah kamu mencium akalmu?”
“Tidak,” jawab ateis.
“Apakah kamu merasakan akalmu?”
“Tidak,” kata ateis.
“Kamu berakal atau gila?”
“Berakal,” jawab ateis.
“Jika kamu benar-benar berakal, di mana akalmu?”
“Tidak tahu. Tapi dia ada,” jawab ateis.
“Demikian pula Allah Tabaraka wa Ta’ala,” kata Imam Hanafi.